Selasa, 17 Desember 2013

all about majapahit



Hayam Wuruk: Puncak Kebesaran Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1350 M putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit. Ia bergelar Sri Rajasanagara, dan dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya, Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja muda (rajakumara) dan mendapat daerah Jiwana sebagai daerah lungguh-nya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.
                Dengan bantuan patih hamangkubhumi Gajah Mada, raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Kertanegara yang mempunyai gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantra, Gajah Mada ingin melaksanakan pula gagasan politik nusantara yang telah dicetuskan sebagai sumpah palapa di hadapan raja Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Dalam rangka menjalankan politik nusantaranya satu persatu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukan.

                Agaknya politik Nusantara ini berakhir sampai tahun 1357 M, dengan terjadinya peristiwa di Bubat (pasunda-bubat), yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit. Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mempersunting putrid Sunda, Dyah Pitaloka. Namun, Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja Hayam Wuruk dengan putri Sunda dilangsungkan begitu saja, ia menghendaki agar putrid itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada Raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kkerajaan Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada. Kemudian terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur. Meninggalnya putrid Sunda dalam peristiwa Bubat, kemudian raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, anak Bhre Wengker Wijayarajasa.
                Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk untuk meningkatkan kemakmurab bagi rakyatnya, hasil upeti dan berbagai macam pajak dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan dalam berbagai bidang. Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian, raja telah memerintahkan pembuata bendungan-bendungan, dan saluran-saluran pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempat penyeberangan untuk memudahkan lalu lintas antar daerah.
                Raja Hayam Wuruk juga menyelenggarakan pesta upacara sraddha agung untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya Rajapatni. Upacara sraddha tersebut diselenggarakan dengan meriah dan khidmat dalam bulan Badrapada tahun 1362 M, atas perintah ibunda raja. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1964 M, patih hamangkubhumi Gajah Mada meninggal, setelah lebih dari tiga puluh tahun mengabdikan dirinya untuk kebesaran dan kejayaan Majapahit.
                Raja Hayam Wuruk kemudian mengundang Pahom Narendra, yang merupakan dewan pertimbangan raja, untuk merundingkan masalah penggantian Gajah Mada tetapi tidak berhasil. Akhirnya raja memutuskan tidak akan diganti dan untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan raja Hayam Wuruk mengangkat aryyatmaraja pu Tanding menjadi wrddhamatri, sang aryya wira mandalika pu Nala diangkat menjadi mancanagara, dan Patih Dami diangkat menjadi yuwamantri.
                Masa permerintahan raja Hayam Wuruk tanpa patih hamangkubhumi hanya berlangsung selama tiga tahun. Kemudian Gajah Enggon diangkat menjadi patih hamangkubhumi. Pada tahun 1389 M, raja Hayam Wuruk meninggal.


Jayanagara
Sepeninggal Kertarajasa pada tahun 1390 M, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan gelar abhisekanya Sri Sundarapandyadewadhiswarana Maharajabhiseka Wikramottunggadewa. Pada waktu ayahnya masih memerintah, yakni pada tahun 1296 M, Jayanagara telah berkedudukan pula sebagai kumararaja.
                Pada masa pemerintahan raja Jayanagara  merupakan kelanjutan dari pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya yang disebabkan oleh fitnah Mahapati. Kemudian muncul pemberontakan Semi pada tahun 1318 M dan pemberontakan Kuti pada tahun 1135 M. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra di kerajaan Majapahit. Dalam pemberontakan Kuti muncul Gajah Mada yang berkedudukan sebagai seorang anggota pasukan pengawal raja (bekel bhayangkari). Berkat siasat Gajah Mada dalam peristiwa di Badander, raja dapat diselamatkan dan Kuti dapat di bunuh.
                Masa pemerintahan Jayanagara hubungan dengan China pulih kembali. Utusan dari Jawa tiap tahun dating dari tahun 1325 M sampai tahun 1328 M. Utusan yang datang dalam tahun 1325 M dipimpin oleh Seng-chia-liyeh, dalam berita China sebagai raja di Sumatra.
                Dari masa pemerintahan raja Jayanagara mengenal 3 buah prasasti yang dikeluarkan olehnya, yaitu prasasti Tuhanaru, prasasti Balambangan, dan pasasti Balitar I.  Prasasti Tuhanaru berangka tahun 1245 Saka, berisi penetapan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Prasasti kedua, memperingati penetapan daerah Balambangan sebagai daerah perdikan. Prasasti ketiga, angka tahun 1246 Saka dan menyebut gelar abhiseka Jayanagara.
                Pada tahun 1328 raja Jayanagara meninggal dibunuh Tanca, seorang dharmmaputra yang bertindak sebagai tabib. Peristiwa pembunuhan raja Jayanagara ini disebut patanca. Raja Jayanagara dicandikan di dalam pura, di Sila Petak dan di Bubat, ketiganya dengan arca Wisnu, dan di Sukhalila dengan arca Amoghasiddhi.

Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani
                Raja Jayanagara tidak berputra. Sepeninggalnya pada tahun 1328 M kedudukannya digantikan oleh adik perempuannya, yaitu Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhan.
Dari kakawin Nagarakertagama, bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 M. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sesudah peristiwa itu Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara. Peristiwa yang lain adalah penakhlukan Bali dalam tahun 1343 M.
Dalam tahun 1334 M lahirlah putra mahkota yang bernama Hayam Wuruk. Kelahirannya disertai gempa bumi, hujan abu, Guntur, dan kilat karena meletusnya Gunung Kampu.
Tribhuwanottunggadewi pada tahun 1350 M mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M Tribhuwanottunggadewi meninggal, dan didharmakan di Panggih. Pendharmaannya bernama Pantarapurwa.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar